Alila
Alila terlihat
sibuk dengan tumpukan buku-buku yang dibawanya, wajahnya nampak lelah mungkin
karena begitu banyak buku yang di bawanya.
“Aduh banyak
banget ini bukunya, mana berat lagi.” Keluh Alila. “Shalat dulu aja deh.”
Lanjutnya.
Alila pun menunaikan
shalat ashar, di dalam masjid hanya nampak beberapa orang yang sedang
menunaikan shalat ashar, karena para murid sudah pulang.
Alila
melanjutkan tugasnya untuk membawa tumpukan buku-buku yang dibawanya hingga
kerumahnya. Langit sore ini masih nampak terik, sisa-sisa panas siang tadi
masih terasa di sore ini. Peluh pun membanjiri wajah cantik Alila dan hijabnya.
Ponselnya bergetar, terlihat kontak yang menghubunginya ‘Umi’ Alila segera
menjawab panggilan tersebut.
“Assalamu’alaikum
Umi.” Salam Alila dengan susah payah karena menahan beban tumpukan buku-buku
yang dibawanya.
“Wa’alaikumsalam
Lila .Kamu dimana nak?”
“Alila lagi
dijalan pulang umi, maaf ya Lila gak ngabarin Umi.”
“Iya nak, yaudah
kamu hati-hati ya di jalan, jangan lupa berdo’a ya nak.”
“Iya umi. Yaudah
Assalamu’alaikum Mi.” Tutupnya dengan lembut. Alila memutuskan sambungan
telponnya. Dia menunggu angkot yang sedari tadi di tunggunya, namun tak kunjung
datang.
“Aduh lama
banget sih angkotnya, aku udah cape banget ini.” Keluh Alila. Nampak jelas
wajah Alila sore ini, peluh pun mulai membasahi kembali wajah cantiknya,
“Alhamdulillah akhirnya dateng juga.” Seketika itu pun wajah Alila berubah
senang, karena angkot yang ditunggunya daritadi akhirnya datang juga.
***
Hujan deras
nampaknya tidak di hiraukan oleh Alila, dirinya masih sibuk dengan tumpukan
buku-buku yang tadi sore di bawanya, ia terlihat menikmati satu persatu buku yang
dibacanya, dan ternyata itu adalah buku dari murid-murid tempat dirinya
mengajar. Alila adalah seorang guru yang baru lulus tahun ini dan mengajar di
salah satu Taman Kanak-kanak yang baru di buka juga tahun lalu, latar belakang
pendidikan sebagai guru bahasa inggris dan ketertarikannya pada dunia anak
membuat Alila memutuskan untuk mengajar di Taman Kanak-kanak, walaupun Umi dan
Abinya menginginkan Alila mengajar di Sekolah Menengah Atas sebagai guru bahasa
inggris.
“Aku jadi kangen
Rafa deh.” Ujarnya lirih, “Dia apa kabar ya, eh tapi nanti …” Alila tidak
melanjutkan ucapannya.
Alila mengambil
ponselnya, mencoba mencari kontak yang akan di hubunginya, tangannya berhenti
pada sebuah nama di kontak ponselnya ‘Trisan’.
To ; Trisan
Assalamu’alaikum J
Alila
harap-harap cemas menunggu balasan dari Trisan. Matanya terus menatap layar
ponselnya.
Trisan
adalah salah satu mantan pacar Alila saat masih kuliah dulu, walaupun mereka
sudah cukup lama putus, tetapi mereka tetap bersilahturahmi dan berkomunikasi
dengan baik, walau lebih sering Alila yang menghubungi Trisan.
Ponsel
Alila bergetar, dilihatnya ada balasan pesan singkat dari Trisan.
From ; Trisan
Wa’alaikumsalam Alila J
Dengan
cepat Alila membalas pesan singkat dari Trisan.
To ; Trisan
Kamu lagi apa? Hehee
From ; Trisan
Aku lagi nyelesaiin kerjaan aku nih, kamu lagi apa ibu guru?
To ; Trisan
Aku lagi liat gambar-gambar anak murid aku
nih, ih kamu apa deh ehehee
Alila lupa
waktu jika sudah berinteraksi dengan Trisan.
“Astgahfirullah
aku lupa, aku belum shalat ya ini.” Jam dinding di kamar Alila menunjukkan
pukul 10 malam. Segera Alila beranjak dari tempat tidurnya yang dipenuhi dengan
buku-buku anak muridnya untuk berwudhu.
Alila
terlihat begitu khusyuk dalam
shalatnya.
Butiran
bening sebesar biji jagung membasahi pipi lembut Alila, mata beningnya begitu
deras mengerluarkan cairan bening, Alila terisak suaranya begitu lirih saat
berdo’a, wajahnya yang menengadah keatas begitu serius memohon ampun atas
dosa-dosa yang di perbuatnya, dan disetiap do’anya selalu terselip nama Trisan,
dimana Alila berharap Trisan adalah jodohnya kelak.
***
Pagi ini
mataharinya terllihat mengintip dibalik awan yang mengabu-ngabu, langit Jakarta
pagi ini tidak membiru tetapi mendung cenderung mengabu-abu mungkin karena
hujan deras sepanjang malam tadi. Bau bumi yang basah pun sangat jelas tercium
oleh mereka yang sibuk dengan aktivitas di pagi harinya. Dari kejauhan nampak
seorang gadis dengan hijab biru dongkernya dan wajah berserinya berjalan
ditrotoar yang mulai di penuhi pedangang kaki lima. Langkah kakinya semakin
cepat, saat dia melihat jam tangan di tangannya menunjukkan pukul 06.30.
“Semoga aku gak
telat.” Harapnya dalam hati.
Lima
belas menit sebelum masuk Alila sudah tiba di tempatnya mengajar.
“Ibu
Alila.” Terdengar suara melengking seorang anak memanggil Alila dari kejauhan.
Alila yang sedang berjalan menuju kantor guru pun menghentikan langkahnya
seketika dan membalikan badannya untuk mencari suara itu berasal. Dilihatnya
sala seorang muridnya yang bernama Ditya Prasmeri Wijaya, berlari kecil
kearahnya, diikuti seorang pria yang usianya nampak tidak jauh berbeda dengan
Alila. Alila tersenyum kearah Ditya.
“Assalamu’alaikum
Ditya.” Sapanya dengan lembut di ikuti senyumnya yang begitu tulus.
Ditya
mencium tangan Alila, dan menjawab salamnya “Wa’alaikumsalam ibu, ibu aku
semalam buat gambar Barney bu terus aku …” Belum sempat Ditya melanjutkan ceritanya, pria yang sedari tadi
berjalan di belakang Ditya memotong celotehannya.
“Ditya.”
Panggil pria itu, Ditya pun langsung menghentikan ucapannya.
“Iya
om.” Sahut Ditya yang nampak kesal. Alila yang melihat perubahan ekspresi Ditya
secara tiba-tiba hanya tersenyum. Dilihatnya pria tersebut, Alila hanya
melemparkan senyumnya dan menganggukan kepalanya, sapaan khasnya.
“Maaf
ya Bu Ditya agak bawel.” Ujar pria tersebut.
“Oh
iya, nggak apa-apa.”
“Om
sampe disini aja ya, aku kekelasnya sama Bu Alila” Ujar Ditya, yang kemudian
menggandeng tangan Alila.
“Yaudah
kamu jangan nakal ya, Bu nanti kalo Ditya nakal jewer aja. Om pulang dulu ya.”
Ujar pria itu di ikuti senyumnya ke arah Alila. Alila menanggapinya hanya
dengan senyuman.
Alila
pun mengantar Ditya ke kelas.
***
Hujan
mulai turun, matahari yang seharusnya terik di siang ini nampak malu-malu,
hanya bisa bersembunyi dibalik awan yang mengabu-abu. Suara riuh anak-anak di
Taman Kanak-kanak Pertiwi mengalahkan suara derasnya hujan, para orang tua
murid yang satu persatu menjemput mereka lambat laun suara riuh itu pun hilang,
kini hanya terlihat beberapa anak-anak yang sedang menunggu untuk dijemput.
Alila
yang sedari sibuk membereskan buku-buku dan bangku-bangku dikelas napak
kelelahan. Dilihatnya seorang anak yang berdiri di depan kelas, dengan wajah
polosnya anak tersebut hanya sibuk memutar-mutar botol minumnya.
“Ditya
kamu lagi apa disini sayang?” Tanya Alila dengan lembutnya.
“Aku
lagi nunggu di jemput om aku bu.” Jawabnya polos.
“Loh
emang nenek kamu kemana? Kok om kamu yang jemput?”
“Nenek
aku lagi sakit bu, jadi om Rifat deh bu yang jemput aku.”
Saat
Alila dan Ditya sedang berbincang, tiba-tiba orang yang sedang mereka bicarakan
telah muncul secara tiba-tiba.
“ehemm
maaf.” Sapanya
Alila
sempat terkejut akan kedatangan Rifat.
“Ah
iya pak.” Ujar Alila sedikit kaku.
“Maaf
bu, jadi nungguin Ditya begini.”
“Oh
iya tidak apa-apa kok pak, kebetulan saya juga masih beres-beres di kelas,
kebetulan saya melihat Ditya sendirian di luar kelas.” Jelas Alila dengan
lembut.
Tanpa
banyak bicara lagi, Rifat yang tidak lain adalah om dari Ditya hanya membalas
ucapan Alila dengan senyumnya.
“Ayo Ditya kita
pulang.” Rifat menggandeng tangan Ditya kemudian, “Mari bu.” Tutupnya seraya
meninggalkan Alila.
Alila
melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Selesai menyelesaikan
pekerjaanya Alila segera menunaikan shalat zuhur yang belum sempat ia tunaikan.
Usai mengajar
Alila memutuskan pergi ke sebuah toko buku yang jaraknya tak jauh dari
tempatnya mengajar. Sisa-sisa hujan siang tadi menyisakan kubangan air yang
tergenang di pinggir jalan.
***
“Nah ini dia
buku yang aku cari, akhirnya ketemu juga.” Ujar Alila sambil mengambil buku
yang dicarinya.
“Alila?” Panggil
seorang wanita seraya menepuk punggung Alila.
“Astaghfirullah.”
Alila menengok ke wanita tersebut dengan ekspresi yang masih terkejut.
“Aduh maaf maaf
La, aku ngagetin kamu ya?”
“Masya Allah Kak
Rahmi, aku kira siapa.”
“Iya maaf ya
hehe. Kamu sama siapa kesini?” Tanya wanita tersebut, yang ternyata bernama
Rahmi.
“Aku sendiri aja
kak kesini, kakak sama siapa kesini?”
“Aku juga
sendiri aja. Ya ampun sampe lupa nanya kabar kamu, apa kabar kamu?”
“Alhamdulillah
baik kak. Kakak gimana?”
“Alhamdulillah
baik juga La, makin Jamillah aja
kamu.”
“Alhamdulillah
kak. Kakak juga, duhh udah lama yaa kita nggak ketemu, kebetulan banget ya kak
kita ketemu disini, aku kangen banget loh sama kakak.”
“Aku juga kangen
sama kamu. Gimana kalo kita ngobrol-ngobrol dulu sambil makan, kamu udah makan
apa belum?”
“Ayo kak ayo
kebetulan aku lagi laper banget ini kak, tapi aku bayar ini dulu yaa.”
Alila dan Rahmi
pun meninggalkan toko buku tersebut, dan banyak hal yang mereka bicarakan.
Rahmi adalah teman majlis ta’lim yang sudah di anggap menjadi kakak bagi Alila,
begitu juga sebaliknya. Tetapi semenjak Alila sibuk dengan skripsinya, Alila
sudah jarang mengahadiri maj’lis ta’lim yang di dalamnya remaja muslimah yang
juga mempunyai komunitas “Muslimah Berhijab”.
“Kamu sudah
mengajar La?” Tanya Rahmi.
“Alhamdulillah
sudah kak.”
“Kapan nih mau
nyusul aku. Kalo sudah berumah tangga tentram loh La.”
Pertanyaan Rahmi
membuat Alila terdiam sejenak, tiba-tiba di pikirannya muncul satu nama
‘Trisan’ Alila berharap Trisan lah yang menjadi imamnya kelak, namun pada
kenyataannya sampai saat ini tidak ada tanda-tanda bahwa Trisa akan menikahinya
walau mereka tidak berpacaran.
“Kok kamu diam
La? Aku salah ya nanyanya?”
“Ah eh enggak
kok kak, aku bingung kalo ditanya kayak gitu ehehehee punya pacar aja nggak siapa
juga yang mau ngajak nikah aku.” Ujar Alila dengan polosnya.
“Pacaran? Kenapa
harus pacaran pilihan kamu? Aku sama suami ku gak pernah pacaran, kita langsung
menikah setelah ta’aruf.” Ujar Rahmi panjang lebar.
“Aduh aku suka
bingung kak, kalo udah bahas soal pernikahan, aku ikutin alurnya aja, gimana
Allah ngasih jodohnya ke aku.”
“Aduh dasar ya
kamu, yaudah aku doain semoga kamu cepet dapet jodoh yaa. Oh iya kamu masih
berhubungan sama siapa tuh, ehhmm Trisan ya, iya kan?”
Alila mendadak
tersenyum malu-malu saat nama Trisan disebutkan.
“Iya
Alhamdulillah masih kak. Kenapa kak emangnya?”
“Kenapa gak
minta di lama raja sama dia”
Setiap kalimat
yang di ucapkan Rahmi, membuat Alila bingung harus menjawabnya seperti apa.
Sikap Rahmi yang frontal terkadang membuat Alila sering salah tingkah. Alila
pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Rahmi.
***
Seorang wanita
separuh baya terlihat seperti mencari sosok seseorang di antara banyaknya
anak-anak TK Pertiwi yang baru saja keluar kelas, satu per satu dari mereka di
jemput oleh orang tuanya.
“Nenek.” Panggil
seornag anak dari kejauhan sambil berlari ke arah wanita setengah baya
tersebut.
Anak tersebut
mencium tangan wanita setengah baya itu, dan segera masuk kedalam mobil xenia yang sudah terpakir di depan
gerbang sekolah. Namun mobil tersebut bukannya jalan, tetapi ada seorang
laki-laki berperawakan gempal turun dari mobil tersebut dan terlihat menuju
berjalan masuk kedalam sekolah dan memasuki kantor guru dan menemui salah satu
guru yang ada di ruangan tersebut dan memberikan sesuatu pada guru tersebut.
“Nek, kok Pak
Ujang kok malah turun sih nek?” Tanya Ditya.
“Iya Pak Ujang
ada urusan sebentar di dalam sayang, itu Pak Ujangnya udah kelar.” Ujar Nenek
Ditya seraya menunjuk kea rah supirnya tersebut.
“Sudah Pak
Ujang?”
“Sudah bu.”
Jawab Pak UJjang yang sudah berada di dalam mobil.
Akhirnya mereka
pun pergi meninggalkan sekolah tersebut.
***
Hingga pukul
00.00 Alila masih belum memejamkan matanya, akhirnya ia memutuskan berwudhu
agar bisa tertidur.
Setelah berwudhu
Alila membaca surah Al-fatihah, dan An-nas, tak lama setelah itu Alila mulai
terlelap. Baru sekitar dua jam Alila tidur, tak lama kemudian dia terbangun
kembali untuk menunaikan shalat tahajud dan istikharah.
Alila terlihat
sangat khusuyuk dan khidmat. Saat berdoa buliran-buliran bening yang keluar
dari matanya tak kunjung berhenti, hanya sesak yang di rasa Alila. Alila
menumpahkan semua keluh kesahnya yang dirasa saat ini, keinginannya untuk cepat
menikah terus menghantuinya. Hingga datang apa yang menjadi keinginannya, dan
Alila mulai merasa bingung apa yang harus ia putuskan. Hingga ia menjalankan
shalat istikharah untuk memohon petunjuk.
***
Minggu pagi ini
nampaknya cukup cerah, nampaknya Alila masih sibuk dengan mimpinya, nampak
sekali tidurnya cukup lelap setelah shalat subuh tadi dia baru saja bisa tidur
lelap. Tapi di luar suara umi Alila sudah terdengar mengobrol dengan abinya.
Alila mulai
tersadar dari mimpinya.
“Udah pagi yaa,
Alhamdulillah.”
Alila berjalan
dengan keadaan masih setengah sadar dan keluar kamar. Abi dan umi Alila yang
melihat kebiasaan Alila yang sering berjalan dengan kondisi setengah sadar
hanya geleng-geleng kepala.
“Liat tuh mi
anaknya, dari kecil sampe umurnya 22 sekarang kebiasaanya gak ilang-ilang juga,
kalo belum ada barang yang pecah itu matanya belum meleknya full mi.”
“Udah di
maklumin aja abi. Umi udah sering bilangin, tapi susah Alilanya buat ngilangin
kebiasaanya gitu.”
Keluar dari
kamar mandi, nampak wajah Alila basah, sepertinya Alila baru saja mencuci
mukanya. Alila menghampiri umi dan abinya yang sedang berada di meja makan.
“Umi abi hehee.”
Sapa Alila seraya menuangkan teh kecangkir yang di ambilnya.
Abi dan umi
Alila hanya mengerenyitkan kening mereka, melihat sikap Alila yang tidak seperti
biasanya.
Umi Alila
menghampiri Alila dan memegang kening Alila.
“Kamu sehat kan
nak?” Tanya umi Alila cemas.
“Alhamdulillah
sehat umi, kok umi nanyanya aneh gitu.”
“Enggak apa-apa.”
Ujar umi Alila singkat dan meninggalkan Alila dan abinya ke dapur.
Alila terdiam,
tatapannya mengarah kepada abinya yang sedang membaca buku dengan serius. Sadar
sedari tadi anaknya melihatnya, sang ayah pun menghentikan membaca bukunya.
“Kenapa La kamu
liatin abi kayak gitu.”
“Ehhh nggak
apa-apa bi.”
Alila segera
meninggalkan abinya, dan masuk kedalam kamar. Didalam kamar Alila mengeluarkan
secarik kertas yang berada di dalam amplop coklat, wajahnya cukup serius
membaca tulisan tersebut secara berulang kali.
“Ya Allah gimana
cara aku kasih tau umi sama abi. Jika memang ini jalan terbaik untuk ku dari-Mu
mudahkan lah ya Allah.”
Ponsel Alila
berdering, di lihatnya ada panggilan masuk yang ternyata dari Trisan, Alila
segera menjawab panggilan tersebut dengan semangat.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum
salam yaa humaira.” Jawab Trisan dengan panggilan menggoda Alila.
“Hehee kamu. Ada
apa Tris?”
“Nggak ada
apa-apa. Hari ini kamu dirumah atau mau pergi la?”
“Aku dirumah
aja, kenapa emangnya Tris?”
“Aku kerumah
kamu yaa.”
“Loh tumben ada
apa ya?” Tanya Alila dengan nada sedikit heran.
“Nanti juga kamu
tau. Yaudah aku mau siap-siap dulu yaa. Kamu pasti belum mandi, mandi gih.”
“Iya, yaudah aku
mandi dulu yaa.”
Alila menutu
sambungan telpon Trisan, pikirannya semakin tidak karuan. Akhirnya Alila
memutuskan untuk mandi.
***
Hingga senja
tiba Trisan tak kunjung datang, Alila mulai kecewa diputuskannya dia untuk
member tahukan sesuatu hal yang sedari semalam mengganggu pikirannya. Alila
menghampiri umi dan abinya yang sedang duduk santai menonton tv. Alila duduk di
bangku sebelah kanan dari umi abinya duduk.
“Umi abi, Alila
mau ngomong.”
Umi dan abinya
Alila saling berpandangan heran. Tangan Alila tidak bisa diam daritadi, nampak
sekali dia sedang gugup dan bingung.
“Mau ngomong apa
kamu nak?” Tanya umi Alila dengan lembut.
Alila terdiam “Ya Allah mudahkan aku untuk mengucapkan
ini.” Alila menarik nafas dalam-dalam.
“Umi abi ada
yang mau melamar Alila.” Ujar Alila lirih, dengan wajah tertunduk.
Umi dan abi
Alila sontak terkejut, suasana hening seketika.
“Siapa yang
berani melamar kamu nak?” Tanya abi Alila dengan nada dingin.
“Ada bi, Alila
juga belum kenal orangnya bi, tapi kayaknya dia cukup kenal baik dengan Alila
bi.”
“Loh gimana
bisa, kamu gak kenal tapi dia kenal kamu. Kamu juga baru aja mengajar, emang
kamu udah siap menikah?”
“Kalo ini emang
cara Allah ngasih jodoh ke aku, insya Allah aku Alila siap bi.”
Kedua orang tua
Alila terdiam, mendengar ucapan Alila.
“Suruh dia temui
abi dan umi.”
Tanpa banyak
bicara abinya Alila langsung meninggalkan Alila, yang masih terdiam dalam posisinya.
Uminya kemudian memeluk Alila yang mulai melihat mata buah hatinya yang
berkaca-kaca.
“Bawa dia kesini
ya nak.” Ujar umi Alila yang masih dalam posisi memeluk sang anak.
***
From ; Trisan
Aku udah di depan sekolah kamu nih.
Alila
segera membalas pesan singkat Trisan.
To ; Trisan
Iya tunggu ya aku udah jalan keluar kok ini
Alila
menghampiri Trisan yang sudah menunggunya. Dari kejauhan sudah nampak wajah
ceria Alila dengan senyum khas Alila.
“Mau
sekarang kerumah akunya?”
“Iya humaira ku. Yaudah cepetan naik, sebelum
ujan. Oh iya umi sam abi kamu ada kan? ”
Alila
hanya menganggukan kepalanya dan langsung duduk di belakang Trisan.
Sesampainya
di rumah Alila, terlihat Umi Alila sedang sibuk memasak makanan, seperti akan
ada acara.
“Kamu
tunggu dulu ya, umi lagi masak di dapur, aku panggil abi dulu yaa, kamu minum
dulu aja yaa.”
“Abi abi.”
Panggil Alila seraya mengetuk pintu kamar abinya.
“Iya La
tunggu sebentar. Ada apa la? Kamu tumben jam segini udah pulang.” Tanya Abinya
Alila hera.
“Iya tadi
emang cuma acara makan-makan aja Abi. Oh iya abi, ada yang mau ketemu abi sama
umi.”
“Siapa?”
“Udah abi
liat aja, nanti juga abi tau.”
“Yaudah
tunggu dulu, abi mau ganti baju dulu.”
Alila
menghampiri Trisan yang sedang menunggu di ruang tamu, tak lama kemudian kedua
orang tua Alila pun datang menemui Trisan. Trisan segera mencium tangan kedua
orang tua Alila.
“Oh iya
duduk silahkan nak Trisan.” Ujar Abinya Alila seraya mempersilahkan duduk
Trisan.
“Iya bi.”
“Jadi ini
yang mau ketemu umi sama abi La?” Tanya umi Alila dengan nada sedikit dingin.
“Iya umi.”
Jawab Alila dengan senyum manisnya.
“Ada apa
nak Trisan mau ketemu abi sam umi?” Tanya Abinya Alila dengan nada sedikit
heran.
“Bismillah
hirrahman nirrahim. Jadi begini abi umi, maksud dari kedatangan Trisan kesini
adalh untuk meminang Alila.”
Suasana
ketika menjadi hening. Alila seperti ingin pingsan mendengar kalimat yang baru
saja di ucapkan Trisan, air matanya menetes tanpa di sadarinya.
Dengan
menarik nafas panjang Abinya Alila
menjawab permintaan Trisan.
“Begini
nak Trisan semua keputusan ada di tangan Alila, kami sebagai orang tua hanya
memfasilitasi saja, karena kalian yang akan menjalankannya. Alila menurut kamu
bagaimana nak?”
Alila
masih terdiam, segera ia menghapus air matanya, ditariknya nafas dalam-dalam.
“Bismillah
hirrahman nirrahim. Trisan sebelumnya terima kasih atas permintaan pinangan
kamu, aku menghargai niat baik kamu, tapi kamu harus tau sebenarnya aku sudah
ada yang melamar juga, tapi belum aku jawab juga, jadi aku minta kamu untuk
kasih aku waktu tiga hari untuk memutuskan semuanya.”
Trisan
serasa di sambar petir di siang bolong mendengar kalimat yang baru saja di
ucapkan Alila. Nampaknya do’a Alila di kabulkan, ternyata Allah Subhan
nahuwata’ala juga punya rencana di balik semuanya, yaitu menguji Alila dengan
dua orang laki-laki yang meminangnya. Kebingungan terus menghinggapi Alila.
***
Alila
terlihat cantik dengan hijab berwarna pink mengulur panjang menutupi tubuhnya,
dia juga mengenakan gamis berwarna abu-abu. Malam ini ternyata seorang yang mau
meminang Alila waktu itu, akan datang malam ini untuk meminang Alila.
Perasaan
Alila semakin tidak karuan, banyak hal yang dipikirkannya. Ternyata seseorang
yang di tunggu pun sudah datang.
“Ibu
guru.” Panggil seorang anak yang sudah tidak asing lagi bagi Alila.
Alila
tersenyum menanggapi panggilan Ditya. Ditya menghampiri Alila, dan Alila pun
menyambutnya dengan hangat. Di pangkunya Ditya oleh Alila. Ternyata semua orang
sudah berkumpul diruang tamu, mereka menunggu Alila untuk keluar dari kamarnya.
Suasana ruang tamu tersebut seketika menjadi hening, melihat Alila mala mini
yang nampak begitu cantik.
“Assalamua’alaikum
wr.wb. Selamat malam umi dan abi dari Alila, sebelumnya perkenalkan dulu, saya
Ibrahim orang tua dari Rifat, sebelumnya mungkin umi dan abinya Alila belum
kenal kita siapa, tapi mungkin Alila sudah menceritakan siapa kita yang tidak
lain adalah wali muridnya Ditya yang tidak lain adalah murid dari Alila..”
Tiba-tiba ayah dari Rifat yang tak lain adalah om dari Ditya terhenti. ”Maaf
kalo kami lancang datang secara tiba-tiba seperti ini dan langsung meminang
Alila, tanpa kita pernah kenal sebelumnya, tapi kami sebagai orang tua hanya
menjalankan kewajiban kami, yaitu menikahkan anak kami dengan seorang wanita
yang dia pilih, dan Rifat memilih Alila sebagai pendamping hidupnya.”
“Terima
kasih sebelumnya Pak Ibrahim atas kedatangannya kerumah kami. Iya memang Alila
sudah menceritakan sedikit banyak tentang keluarga Pak Ibrahim, walau pun ia
belum terlalu kenal dengan nak Rifat. Saya juga selaku orang tua yang mempunyai
kewajiban menikahkan anak saya dengan laki-laki pilihannya hanya bisa
menikahkannya tetapi soal keputusan Alila mau tau tidaknya itu semua dia yang
memutuskan, saya sebagai orang tua hanya sebagai fasilitator saja karena yang
akan menjalani hubungan ini mereka bukan kita.”
“Iya kita
terima apa pun keputusan Alila, karena niat baik kita tidak memaksa Alila untuk
menerimanya.”
“Maaf
sebelumnya, Alila berterima kasih banget untuk kedatangan Bapak Ibrahim dan ibu
beserta Rifat. Alila juga appreciate atas
pinangan Rifat, Alila minta waktu tiga hari untuk memutuskan semuanya. Jujur
saat ini bukan hanya Rifat yang meminta Alila, maka dari itu Alila harus shalat
istikharah dulu, untuk minta petunjuk dari Allah. Alila harap bapak, ibu dan
Rifat memaklumi keputusan Alila.”
Seketika
suasana pun menjadi hening. Nampak keluarga dari Rifat menarik nafas panjang
mendengar ucapan Alila. Dengan lapang dada Rifat pun menanggapi ucapan Alila.
“Jika
memang begitu keadaanya insya Allah saya akan terima apa pun jawaban dari
Alila.”
***
Pagi ini
ujan begitu deras Alila yang sudah siap untuk berangkat mengajar pun terpaksa
menunggu hujannya reda terlebih dahulu. Umi nya yang sedari tadi memperhatikan
Alila dari ruang makan menghampiri Alila.
“Ndok kamu
mau berangkat ngajar juga ujan-ujan begini?”
“Iya Umi,
kasian anak-anak nanti mereka udah ujan-ujan begini tapi gurunya masa gak
masuk.”
“Mau naik
taksi kamu? Nanti umi panggilan Pak Badar biasanya kalo jam segini dia belum
berangkat narik.”
“Boleh deh
Umi, daripada Alila gak jalan-jalan.”
“Yaudah
Umi telpon orangnya dulu yaa.”
Tidak lama
setelah itu taksi yang di maksud pun datang, Alila segera pamit dan mencium
tangan uminya.
“Alila
jalan dulu ya Umi, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
***
Saat turun
dari taksi Alila melihat Rifat yang ternyata pagi ini mengantar Ditya ke
sekolah. Seketika itu pun Rifat menghampiri Alila yang masih berdiri
melihatnya.
“Assalamu’alaikum.”
Sapa Rifat.
Alila
tersenyum dan menjawab salamnya.
“Wa’alaikumsalam.”
“Ngantar
Ditya hari ini? Neneknya ke mana?” Tanya Alila membuka percakapan.
“Iya,
neneknya ada kok tapi emang aku yang mau nganterin Ditya.”
Alila
hanya tersenyum menanggapi ucapan Rifat. Cukup terlihat Alila begitu kaku
berhadapan dengan Rifat.
“Ibu guru
ayo kita masuk.” Ditya mencairkan suasana yang nampak kaku.
“Iya.”
Alila segera pamit kepada Rifat.
Hari ini
hujan nampaknya tidak ingin berhenti, cuaca yang mendung, langit yang
mengabu-abu, dan matahari yang tidak berani menampakkan sinarnya membuat cuaca
Jakarta hari ini cukup sejuk.
Alila
duduk di pos satpam menunggu angkutan umum untuk menuju pulang kerumahnya. Dari
luar gerbang sekolah nampak seorang pria yang ia kenal berjalan menuju ke
arahnya.
“Kamu
belum pulang?” Tanya Rifat yang saat itu sudah berada di hadapannya.
“Iya belum
mas, aku masih nungguin angkot.” Jawab Alila singkat.
“Kalo kamu
mau dan nggak keberatan aku boleh nganterin kamu pulang?”
Alila diam
sejenak mendengar ajakan Rifat. Di lihat sekelilingnya dan kearah luar sekolah
tidak ada satu angkot pun yang lewat.
“Tapi apa
aku nggak ngerepotin mas?” Tanya Alila ragu.
“Ya ampun
Alila nggak kok, kan aku yang nawarin kamu, soalnya ujan kayak gini bahaya juga
kalo kamu naik angkot.”
Tanpa
pikir panjang Alila pun akhirnya menerima ajakan Rifat. Sepanjang perjalanan
pulang kerumah Alila, suasana di hangatkan oleh celotehan Ditya.
***
Alila
melihat ke seluruh arah, tidak ada satu orang pun, Alila nampak seperti orang
tersesat, nampak sekali dari raut wajahnya ia seperti kebingungan dan
ketakutan.
“Ya Allah
aku dimana ini? Kenapa sepi begini?”
Tidak
henti-hentinya Alila berdoa, tangannya terus berdzikir mengucap asma-Nya. Dari
kejauhan samar-samar dilihatnya ada seorang pria yang berjalan menuju
kearahnya, Alila terus memperhatikan sosok itu hingga terlihat jelas.
Dilihatnya orang yang sudah sangat dia kenal, Alila tersenyum kearah pria
tersebut, pria tersebut kini telah berada di hadapannya. Sementara saat Alila
ingin mendekat dengan sosok tersebut, terdengar suara pria lain memanggil
namanya dari kejauhan, Alila mencari sosok tersebut suaranya cukup asing,
karena memang Alila tidak mengenali suara tersebut.
“Alila.”
Panggil sosok tersebut, yang kini telah berada di hadapannya. Alila terkejut
kini ada dua sosok pria yang berada di hadapannya.
“Maafkan
aku Alila sepertinya takdir aku bukanlah sama kamu.” Ujar sosok yang sedari
tadi memanggilnya. Lambat laun sosok itu pun menghilang dari hadapannya dan
dari pandangannya. Kini hanya tinggal Alila dan sosok pria yang cukup ia kenal,
pria tersebut meraih tangan Alila kemudian menciumnya.
“Aku ingin
kamu menjadi bidadari ku di dunia dan di akhirat.” Ujar pria tersebut dengan
begitu lembut.
Alila
hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya, menanggapi ucapan sosok pria
tersebut.
Kringggg kringgggggggg kringggggg terdengar
suara alarm ponsel alila yang
berdering, Alila yang masih tertidur nyenyak seketika itu langsung terbangun.
Dilihatnya jam di ponselnya, waktu menunjukkan pukul 04.45 pagi.
“Astaghfirullah
hal adzim ternyata aku mimpi, ya Allah apa ini jawaban dari shalat istikharah
ku?”
Alila
segera beranjak dari ranjangnya untuk segera menunaikan shalat subuh.
***
“Umi.”
Panggil Alila kepada uminya yang sedang menyiapkan sarapan pagi.
“Iya nak,
kamu mau berangkat sekarang?”
“Iya nanti
dulu umi. Mi, Alila mau ngomong sesuatu sama umi.”
“Ada apa
cah ayu, kok serius banget kayaknya.”
Alila
menarik nafas panjang, kepalanya terunduk. Kemudian di tatapnya dalam-dalam
wajah uminya dengan matanya yang sendu.
“Alila
udah punya jawaban, siapa yang akan Alila pilih khitbah nya umi.”
“Alhamdulillah.
Kamu serius nak?”
“Insya
Allah ini jawaban dari-Nya umi, Alila juga yakin kok umi.”
Perbincangan
pagi itu cukup lama dan hampir membuat Alila terlambat datang mengajar.
Malam yang
ditunggu Alila pun akhirnya tiba di mana ia akan menentukan pilihan siapa yang
akan menjadi imamnya kelak. Rifat dan keluarganya datang untuk yang kedua
kalinya dan siap atas jawaban Alila. Rifat nampak tegang atas apa yang akan
Alila ucapkan.
Ke esokan
malamnya Trisan dan keluarganya pun datang kerumah Alila, sama seperti Rifat
dan keluarganya mereka datang untuk mendengarkan jawaban Alila.
***
Dua bulan
kemudian…
Alila nampak
cantik dan anggun dengan kebaya putih yang membalut tubuhnya beserta hijabnya,
kini perasaannya campur aduk, dimana hari ini dia akan menikah dengan seorang
pria yang selama ini dia cintai dan do’anya pun terkabul. Alila sudah tidak
sabar menunggu kedatangan Trisan, sang calon suami yang masih dalam perjalanan,
ponsel yang sedari tadi tidak lepas dari genggamannya agar mengetahui dimana
calon imamnya sekarang berada.
Seorang kerabat
dari Alila masuk dan menjemputnya untuk keluar kamar karena sang calon mempelai
telah datang, kini perasaan Alila semakin tidak karuan, ia terus berdo’a agar
acara pernikahannya lancar.
Kini dua
anak manusia tersebut duduk bersampingan, ijab qabul pun telah di ucapkan oleh
Trisan yang kini telah sah menjadi yang halal bagi Alila, betapa bahagianya
Alila dapat menikah dengan seorang pria yang di cintainya dan di cintai pula.
Alila
sempat putus asa, tidak pernah terfikir olehnya bahwa ia akan benar-benar
menjadi istri dari Trisan, tidak sia-sia do’a yang ia panjatkan selama ini.
Allah mengabulkannya dengan cara-Nya sendiri.